SALAH satu indikasi negara dikatakan maju apabila sebanding dengan pendidikan warganya yang maju pula. Dengan pendidikan yang maju, maka akan secara langsung berdampak pada bidang-bidang yang lain. Amerika Serikat, Inggris dan Jepang merupakan tiga negara dengan kualitas pendidikan yang maju. Efeknya, bidang ekonomi, diplomasi, teknologi sampai pertahanan mereka kuasai.
Apa gerangan dengan Indonesia? Dalam beberapa hal kita sebanding dengan mereka. Populasi penduduk, sumber daya alam (SDA) yang melimpah merupakan aset yang sepatutnya menjadi modal untuk bersaing di tingkat global. Ukuran IQ pun, kita tetap bisa bersaing.
Buktinya, pada beberapa waktu lalu, Indonesia meraih juara umum pada Lomba Penelitian Ilmiah Remaja Tingkat Dunia Ke-17 atau 17th International Conference of Young Scientists (ICYS) yang diikuti sebanyak 13 negara peserta dan 20 tim di Bali. Hal itu belum lagi pada ajang kompetisi serupa tingkat internasional di bidang eksakta di bawah komando Prof. Yohannes Surya.
Seringnya pelajar Indonesia menyabet juara di tingkat internasional menyelipkan pesan bahwa pendidikan Indonesia tidak kalah bahkan unggul dengan pendidikan dari negara-negara lain. Bahkan mampu mengalahkan negara yang mempunyai pendidikan maju.
Namun, di lain sisi, kita masih menemukan masalah pada dunia pendidikan kita. Mulai wujud komersialisasi dan liberalisasi pendidikan, tradisi plagiat di kalangan civitas akademik (baca: sebagian). Kesenjangan fasilitas pendidikan dan kualitas pendidik.
Dari sini dapat diuraikan bahwa terjadi ketimpangan dalam pendidikan di Indonesia. Mampu menjuarai kompetisi tingkat nasional ataupun internasional tidak lantas kemudian menganggap pendidikan Indonesia maju dan berkualitas dan merata.
Memperbaiki sistem pendidikan di Indonesia merupakan hal yang sangat urgen. Perlu kiranya ada sistem pendidikan yang berkelanjutan dalam jangka panjang. Namun, ironisnya justru yang ada adalah setiap pergantian menteri pendidikan, maka berganti pula kebijakan. Kecuali ujian nasional (UN) yang masih dipertahankan meskipun selalu mendapat kritikan tajam dari kalangan peduli pendidikan.
Aspek lain dari suramnya pendidikan di Indonesia adalah ketika pendidikan masih berorientasi pada aspek ‘angka’ dan uang. Maka tak heran bila pendidikan yang berorientasi moral terabaikan.
Adanya sekolah-sekolah yang mengklaim sebagai pionir bertaraf internasional dalam satu sisi tentu merupakan sebuah hal yang patut diapresiasi. Perkembangan modern mau tidak mau menumbuhkan sekolah-sekolah yang memang bertaraf internasional, sebagai ikhtiar guna perbaikan dalam percaturan di tingkat global, namun di sisi lain riskan dalam realita yang ada, sekolah-sekolah bertaraf internasional menjadi potret ketimpangan sosial dan kecemburuan sosial di tengah sedikitnya anak didik di negeri ini yang bisa merasakannya.
Apalagi, dana yang harus dipersiapkan tidak main-main. Orang tua harus mempersiapkan uang jutaan rupiah agar bisa memasukkan anaknya pada sekolah internasional. Alhasil, kasta pendidikan menjadi semakin eksis dan ini merupakan sebuah gejala ketidaksehatan dalam proses membangun pendidikan yang unggul.
Penegasian pendidikan kultural yang berbasis humanisme kurang masuk pada kurikulum pembelajaran, kalau tidak mau dikatakan tidak ada. Proses pembelajaran menjadi timpang bila semua elemen pendidikan berfokus pada statistik.
Kebangkitan pendidikan yang berorientasi pada kultur dan semangat pada tataran perbaikan etika menjadi hal yang urgen. Hal ini dilatarbelakangi oleh situsi pelik yang secara langsung berakibat pada dekadensi moral para kaum terdidik.
Anggaran 20 persen yang dialokasikan pada sektor pendidikan memang baru kali ini tercapai. Tentu ada harapan besar buat institusi pendidikan memaksimalkan anggaran tersebut guna peningkatan kualiatas pendidikan di Indonesia. Elemen pendidikan diupayakan ditingkatkan kesejahteraannya. Obral beasiswa sebagai pemancing peningkatan belajar, tunjangan dan kenaikan gaji guru dan dosen, serta program-program yang khusus diberikan untuk institusi pendidikan seperti Bantuan Operasional Sekolah (BOS) menjadi langkah nyata upaya pemerintah mengatasi kemunduran kualitas pendidikan Indonesia.
Maka menjadi tidak heran, fenomena mahasiswa yang mengambil jurusan pendidikan dan keguruan membludak setiap tahun. Langkah pragmatis ini justru mencoreng hakikat kefitrahan sebuah nilai pendidikan
Peningkatan kualifikasi akademik hanya menyelesaikan sebagian masalah pendidikan kita. Kenyataan di lapangan para guru lebih mengedepankan formalitas ketimbang substansi. Peningkatan kualifikasi akademik menjadi S1, misalnya tidak bermakna bila proses meraih gelar kesarjanaan itu didapat dengan jalur pintas, guru pun terjebak jauh dari prinsip profesionalitas. Jauh dari buku, budaya diskusi, menulis, apalagi riset.
Apalagi dalam tataran praksisnya, mahasiswa sekarang (sebagian) terjebak pada budaya instan, plagiat menjadi keseharian bila mendapat tugas dari dosennya, tradisi copy paste yang diambil dari internet atau sumber lainnya kemudin diklaim sebagai hasil karyanya merupakan kecelakaan dalam dunia pendidikan. Semua itu lantas akan bermuara pada tugas akhir skripsi. Dimana semakin marak dan menjamur jasa pembuatan skripsi. Budaya instan inilah yang akan melahirkan para sarjana bergigi ompong dan mandul intelektualitas dalam praktiknya di masyarakat.
Penulis kira, ini merupakan dampak dari mengejar nilai atau angka. Target statistik yang bersinergi dengan deretan angka membuat pembelajaran semakin hambar. Hakikat pendidikan tidak diukur seperti itu yang sampai dikorbankan melalui plagiat.
Perlu ada konsep yang jelas. Mulai dari hulu sampai hilir. Dimana keberlanjutan program pendidikan harus berjangka panjang dan tidak terputus-putus. Dimasukkannya kurikulum berbasis etika dan humanisme pada sekolah dasar sampai menengah atas seperti pendidikan anti-korupsi, narkotika, pendidikan seks dan pendidikan manajemen konflik dan perdamaian. Alhasil ini menjadi proses panjang dari penyadaran anak didik sehingga kedepannya ada korelasi yang nyata antara keilmuan dan etika.
Diharapkan dengan ditambahnya kurikulum tersebut generasi mendatang jauh lebih baik. Praktik korupsi, pemakaian narkoba, doktrin terorisme dan pergaulan bebas dapat berkurang secara signifikan.
Pada tingkat mahasiswa perlu ada penekanan khusus yang bersifat menyeluruh guna memerangi plagiatisme. Membudayakan budaya riset dan pengawasan ketat internal kampus terhadap budaya instan mahasiswa sekarang.
Oleh karena itu, kedepan, hasil dari pendidikan kita adalah terwujudnya keseimbangan dan pemerataan. Seimbang dalam hal pendidikan yang berorientasi pada hal-hal empiris serta diimbangi oleh pendidikan tentang moral. Pemerataan dalam arti ada kesamaan antara institusi pendidikan satu dengan yang lain. Kesamaan dalam penyediaan fasilitas atau sarana dan prasarana serta kualitas pendidik.
Maka, pendidikan seperti inilah yang benar-benar menjadi investasi menjanjikan suatu bangsa. Bangsa dengan pendidikan yang maju dalam hal ekonomi, teknologi, diplomasi, pertahanan namun tidak terjerembab pada dekadensi moral
Tidak ada komentar:
Posting Komentar